HUKUM

PMII Sultra Tolak Legalisasi Tambang Nikel di Wawonii dan Kabaena: Ancaman Serius bagi Lingkungan dan Warga Lokal

0
×

PMII Sultra Tolak Legalisasi Tambang Nikel di Wawonii dan Kabaena: Ancaman Serius bagi Lingkungan dan Warga Lokal

Sebarkan artikel ini

Sultra, Sentralsultra.com – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sulawesi Tenggara (Sultra) menyatakan penolakan tegas terhadap rencana legalisasi industri tambang nikel di Pulau Wawonii dan Kabaena. Dalam konferensi pers yang digelar di Kendari, Sabtu (1/6), PMII menilai kebijakan tersebut tidak hanya bertentangan dengan prinsip perlindungan ekosistem pulau kecil, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat setempat.

“Pulau kecil seperti Wawonii dan Kabaena tidak layak menjadi sasaran tambang. Selain secara ekologis rapuh, aktivitas ekstraktif akan menghancurkan ruang hidup masyarakat yang bergantung pada alam,” tegas Ketua PKC PMII Sultra, Awaludin Sisila.

Rencana legalisasi tambang ini mencuat setelah Gubernur Sulawesi Tenggara mengumumkan niat membuka ruang investasi industri nikel di dua pulau tersebut. Namun PMII menilai langkah itu mengabaikan kerangka hukum yang ada, khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“UU dengan tegas melarang pertambangan di pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km². Pemerintah daerah harus tunduk pada hukum, bukan memaksakan investasi yang membawa risiko jangka panjang,” lanjut Awaludin.

Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan bahwa 73% daratan Pulau Kabaena telah dikapling oleh perusahaan tambang. Sementara di Wawonii, aktivitas eksplorasi tambang telah menyebabkan pencemaran sumber air dan hilangnya hutan adat.

“Kami mencatat puluhan pengaduan warga soal sumber air bersih yang tercemar lumpur tambang serta rusaknya kebun pala dan cengkeh, yang menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat. Ini bukan hanya soal lingkungan, ini menyangkut keberlangsungan hidup,” ungkap Darman, Ketua Forum Adat Kabaena.

Selain kerusakan lingkungan, PMII juga menyoroti potensi konflik sosial akibat minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan. Mereka menyebut adanya kesenjangan antara keputusan politik dan aspirasi rakyat atau governance gap.

“Proses legalisasi tambang ini dilakukan secara tertutup. Warga desa tidak pernah diajak bicara. Bahkan beberapa tokoh adat yang menyuarakan kritik justru dikriminalisasi,” ujar Sitti Ramlah, aktivis perempuan dari Wawonii yang selama ini mendampingi warga terdampak.

Kritik serupa juga datang dari kalangan akademisi. Peneliti lingkungan dari Universitas Halu Oleo, Dr. La Ode Natsir, menyayangkan ketiadaan studi komprehensif pemerintah terkait dampak jangka panjang pertambangan di pulau kecil.

“Kita menghadapi riset gap yang serius. Tidak ada kajian resmi tentang daya dukung ekologis pulau kecil. Kebijakan ini justru dibangun atas dasar klaim ekonomi yang belum terbukti,” jelas Natsir.

Atas dasar berbagai temuan dan kekhawatiran tersebut, PMII Sultra mengajukan tiga tuntutan kepada Gubernur Sulawesi Tenggara:
Membatalkan seluruh rencana legalisasi tambang nikel di Wawonii dan Kabaena.
Menyusun ulang kebijakan pembangunan daerah yang berbasis pada keberlanjutan dan perlindungan ekosistem pulau kecil.
Menjamin ruang partisipasi publik, khususnya masyarakat adat, dalam setiap proses perumusan kebijakan.

“Kami akan terus mengawal isu ini. Mahasiswa tidak akan diam saat tanah rakyat dijual murah atas nama investasi,” pungkas Awaludin. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *