Kendari, Sentralsultra.com – Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) kian memanas seiring langkah sepihak Calon Wakil Gubernur La Ode Muh Ihsan Taufik Ridwan yang mencabut permohonan tanpa kesepakatan dengan Calon Gubernur Dra. Hj. Tina Nur Alam, MM. dan tanpa pemberitahuan ke Tim Kuasa Hukum. Menanggapi hal tersebut, Kuasa Hukum Dra. Hj. Tina Nur Alam, MM., Sugihyarman Silondae, S.H., M.H., menegaskan bahwa pencabutan sepihak tidak otomatis menghapus hak konstitusional Calon Gubernur untuk mengajukan dan melanjutkan sengketa hasil Pilgub di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Sugihyarman, ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang telah diperbarui melalui UU Nomor 8 Tahun 2011, UU Nomor 4 Tahun 2014, dan terakhir UU Nomor 7 Tahun 2020, serta Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 3 Tahun 2024 tentang Tata Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah, secara tegas mengatur bahwa pasangan calon (paslon) adalah subjek hukum yang dapat mengajukan sengketa. Jika salah satu pihak di dalam paslon mencabut permohonan tanpa persetujuan bersama, MK memiliki kewenangan untuk memverifikasi sah-tidaknya pencabutan tersebut. Tanpa prosedur kesepakatan internal yang jelas, pencabutan rentan menimbulkan pelanggaran hak konstitusional.
“Pencabutan sepihak oleh Calon Wakil Gubernur berisiko menghalangi hak konstitusional Calon Gubernur yang masih ingin memperjuangkan hasil pemilihan. Jika MK menerima eksepsi Termohon berdasar pencabutan itu saja, akan muncul preseden buruk: setiap pihak bisa seenaknya menarik diri dan memadamkan upaya hukum paslon lain,” ungkap Sugihyarman kepada Media ini, Kamis 23 Januari 2025.
Ia menjelaskan bahwa permasalahan ini perlu dipandang melalui empat asas utama yang menjadi pijakan Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan pemilu. Pertama, Asas Keadilan (Fairness), di mana MK wajib memeriksa apakah pencabutan sepihak tersebut tetap menjamin hak Calon Gubernur yang masih beritikad memperjuangkan hasil pemilihan. Prinsip ini menuntut agar seluruh hak pihak yang bersengketa diakomodasi, sehingga putusan akhir benar-benar mencerminkan keadilan. Kedua, Asas Kepastian Hukum (Legal Certainty), yang menegaskan bahwa sengketa hasil pilkada diatur secara ketat dalam PMK Nomor 3 Tahun 2024, termasuk soal prosedur pencabutan permohonan. Menerima pencabutan tanpa memenuhi syarat formil dan materiil berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Selanjutnya, Asas Kemanfaatan (Utility) menyatakan bahwa penanganan sengketa di MK tidak sekadar menyentuh kepentingan individual pasangan calon, melainkan juga menyangkut legitimasi hasil pemilihan dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Jika pencabutan sepihak diabaikan tanpa verifikasi ketat, hal ini berpotensi merusak tatanan demokrasi dan menimbulkan celah penyalahgunaan di kemudian hari. Terakhir, Asas Perlindungan Hak Konstitusional, yang bersandar pada jaminan UUD NRI 1945 atas hak warga negara untuk memperoleh perlindungan hukum yang adil. Menutup pintu bagi Calon Gubernur yang masih ingin membela hak konstitusionalnya tanpa pemeriksaan menyeluruh jelas bertentangan dengan semangat konstitusi.
“Kami berharap MK menjalankan fungsi konstitusionalnya secara objektif dan transparan. Jika pencabutan sepihak tidak memenuhi syarat di PMK Nomor 3 Tahun 2024, proses sengketa harus dilanjutkan agar Calon Gubernur dapat membuktikan dalil permohonannya. Ini demi keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, dan menjaga hak konstitusional,” tutupnya.
Dalam perkembangannya, Kuasa Hukum Termohon (KPU Sultra) sempat memberikan pernyataan di berbagai media dan forum sidang, menyebut bahwa pencabutan permohonan oleh Wakil Gubernur secara sepihak menandakan paslon telah kehilangan legal standing. Namun, Sugihyarman menilai penafsiran tersebut keliru dan tidak sejalan dengan mekanisme hukum yang diatur dalam PMK Nomor 3 Tahun 2024. Menurutnya, MK harus menilai lebih dalam apakah pencabutan telah memenuhi unsur kesepakatan di antara seluruh pihak dalam paslon dan tidak merugikan hak konstitusional siapa pun.
Dengan demikian, perkara Nomor 249/PHPU.GUB-XXIII/2025 diharapkan terus berlanjut sesuai prosedur hukum yang berlaku. Para pihak, termasuk KPU Sultra dan Bawaslu, diimbau untuk menghormati proses persidangan dan menyerahkan sepenuhnya kepada pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Harapan semua pihak ialah agar MK dapat menghadirkan putusan yang berlandaskan keadilan, memberikan kepastian hukum, bermanfaat bagi penyelenggaraan pemilu yang bersih, serta tetap melindungi hak konstitusional setiap warga negara. (**)