OPINI

Ketika Hukum Belum Usai, Kuasa Sudah Bicara: Menimbang Urgensi Lex Specialis Pengampunan Negara

0
×

Ketika Hukum Belum Usai, Kuasa Sudah Bicara: Menimbang Urgensi Lex Specialis Pengampunan Negara

Sebarkan artikel ini

Kendari, Sentralsultra.com – Pemberian amnesti atau abolisi terhadap individu yang masih menjalani proses hukum aktif telah memunculkan ruang diskusi yang luas di tengah publik. Dalam konteks penegakan hukum dan ketatanegaraan, hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kewenangan pengampunan negara dapat dijalankan ketika proses peradilan masih berlangsung dan belum menghasilkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)?

Pertanyaan tersebut bukan sekadar menyentuh aspek prosedural, melainkan menyentuh prinsip fundamental dalam negara hukum. Ketika proses peradilan masih berlangsung dan belum selesai secara hukum, pelaksanaan kewenangan prerogatif negara perlu ditinjau dengan cermat agar tidak menimbulkan kesan tumpang tindih antar cabang kekuasaan negara. Dalam sistem yang menjunjung prinsip due process of law, kehati-hatian konstitusional adalah syarat mutlak dalam setiap intervensi terhadap proses hukum.

Secara normatif, Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Kewenangan ini sah secara konstitusional, namun dalam praktik ketatanegaraan yang sehat dan demokratis, pelaksanaannya perlu dibingkai oleh prinsip checks and balances, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Kewenangan yang bersifat luar biasa memerlukan tata cara pelaksanaan yang juga luar biasa tertib.

Dalam struktur negara yang menganut sistem presidensial, tiga cabang kekuasaan – eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki peran masing-masing yang saling melengkapi dan mengawasi. Presiden sebagai kepala eksekutif bertugas menjalankan pemerintahan sekaligus memegang kewenangan pengampunan negara; DPR sebagai representasi legislatif memberikan pertimbangan terhadap usulan pengampunan; sementara lembaga yudikatif melaksanakan peradilan secara independen. Apabila pengampunan diberikan sebelum proses hukum selesai, dapat timbul persepsi bahwa kewenangan eksekutif beroperasi di luar irama ketatanegaraan yang seimbang. Ini bukan semata-mata soal pelanggaran hukum, tetapi soal tata kelola konstitusional yang ideal.

Dalam sistem presidensial Indonesia, Presiden memegang dua fungsi utama: sebagai Kepala Pemerintahan dan sebagai Kepala Negara. Sebagai Kepala Pemerintahan, Presiden bertanggung jawab atas jalannya administrasi negara. Sebagai Kepala Negara, Presiden menjadi simbol kedaulatan serta perwakilan konstitusional bangsa di forum nasional dan internasional. Justru karena menyandang dua fungsi ini secara bersamaan, pelaksanaan kewenangan Presiden perlu senantiasa berada dalam koridor prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan mekanisme pengawasan (checks and balances) agar menjamin tegaknya prinsip negara hukum (rechtstaat) yang demokratis dan berkeadilan.

Kejaksaan, sebagai bagian dari institusi eksekutif, memegang posisi strategis dalam sistem peradilan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Namun dalam konteks pengampunan negara, penghentian perkara sebelum seluruh proses hukum dilalui dapat menimbulkan persepsi publik tentang tertutupnya ruang pembuktian yang seharusnya berjalan secara adil dan transparan. Oleh sebab itu, dibutuhkan fondasi normatif yang kuat dan rinci agar pelaksanaan pengampunan tetap selaras dengan prinsip negara hukum dan tidak menimbulkan keraguan terhadap integritas sistem peradilan.

Secara historis, kewenangan amnesti dan abolisi di Indonesia telah digunakan secara selektif dalam konteks luar biasa, baik dalam rangka penyelesaian konflik bersenjata, de-eskalasi ketegangan politik, maupun pertimbangan kemanusiaan. Contohnya dapat ditemukan dalam pemberian amnesti pasca pemberontakan PRRI/Permesta, gerakan DI/TII, hingga rekonsiliasi nasional di Aceh. Di era yang lebih mutakhir, amnesti pernah diberikan untuk merespons situasi hukum yang menyita perhatian publik luas sebagai bentuk koreksi konstitusional. Sementara itu, abolisi belum pernah digunakan secara eksplisit dalam praktik kenegaraan sejak era Reformasi. Fakta ini menunjukkan bahwa praktik pengampunan negara memang telah dijalankan secara hati-hati, tetapi belum ditopang oleh kerangka hukum teknis yang memadai.

Saat ini, Indonesia belum memiliki instrumen hukum positif yang secara komprehensif dan teknis mengatur pelaksanaan amnesti dan abolisi. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 yang kerap dijadikan acuan sudah tidak relevan dengan kebutuhan dan kompleksitas negara hukum modern. Akibatnya, pemberian pengampunan negara masih sangat bergantung pada penafsiran konstitusi dan preseden politik masa lalu, tanpa disertai pedoman normatif yang menjamin keterbukaan, kepastian hukum, dan akuntabilitas.

Dalam konteks tersebut, pembentukan Undang-Undang tentang Pengampunan Negara sebagai lex specialis derogat legi generali menjadi sangat penting dan mendesak. Tujuannya bukan untuk membatasi kewenangan Presiden, tetapi untuk memperkuat legitimasi pelaksanaannya dengan menyediakan dasar hukum yang terstruktur, terukur, dan dapat diuji secara terbuka. Sebagai lex specialis, undang-undang ini berfungsi sebagai pagar konstitusional agar pelaksanaan pengampunan tetap dalam rel hukum dan tidak berubah menjadi ruang diskresi yang tak berbatas.

Sedikitnya terdapat empat prinsip pokok yang perlu diatur secara eksplisit dalam undang-undang tersebut:
1. Waktu pemberian, yakni memastikan bahwa pengampunan tidak diberikan selama proses hukum masih berjalan, demi menjaga independensi dan martabat lembaga peradilan.
2. Klasifikasi perkara, dengan tolok ukur yang objektif, seperti alasan kemanusiaan, kepentingan nasional yang sangat strategis, atau proses rekonsiliasi.
3. Mekanisme pertimbangan DPR, yang wajib dilakukan secara transparan, akuntabel, dan didasarkan pada kajian hukum yang terbuka bagi pengawasan publik.
4. Standar pertanggungjawaban, baik secara hukum maupun politik, termasuk keharusan Presiden memberikan alasan tertulis atas keputusan pengampunan sebagai bentuk akuntabilitas institusional.

Dengan hadirnya regulasi tersebut, pelaksanaan pengampunan negara akan memiliki dasar hukum yang kuat, pembatasan yang jelas, serta mekanisme pengawasan yang efektif. Hal ini tidak hanya akan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem hukum, tetapi juga menjaga keseimbangan antarcabang kekuasaan dan menegaskan bahwa setiap kewenangan, betapapun konstitusionalnya, tetap harus dibatasi dan dikontrol oleh hukum.

Akhirnya, pembentukan Undang-Undang Pengampunan Negara akan menjadi wujud nyata bahwa hukum bukan sekadar pelengkap kekuasaan, melainkan fondasi utama jalannya negara. Bahwa kewenangan luar biasa harus dijalankan secara luar biasa tertib, bukan luar biasa bebas. Sebab dalam sistem demokrasi konstitusional, keadilan tidak hanya diukur dari hasil akhir, tetapi juga dari cara mencapainya, apakah sah, adil, dan dapat diuji. Pengampunan negara harus berjalan dalam rel hukum, bukan melampaui hukum.

Oleh: Sugihyarman Silondae, S.H., M.H.
Praktisi Hukum – Kendari, Sulawesi Tenggara
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Komite Advokasi dan Studi Hukum (LBH KASASI) Kota Kendari, Founder Firma Hukum SS LAW OFFICE & Partners

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *