HUKUMKONSEL

Polemik Markas Kopassus di Konawe Selatan, Antara Proyek Negara dan Hak Hidup Warga

0
×

Polemik Markas Kopassus di Konawe Selatan, Antara Proyek Negara dan Hak Hidup Warga

Sebarkan artikel ini

Konawe Selatan, Sentralsultra.com – Suasana Desa Ambesea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, belakangan ini dipenuhi keresahan. Ratusan kepala keluarga yang sejak puluhan tahun bermukim dan menggarap lahan di kawasan eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Kapas Indah Indonesia (KII) mendadak diliputi ketidakpastian. Rencana pembangunan Markas Kopassus Grup 5 di atas lahan itu membuat mereka merasa seolah berdiri di ujung tanduk, terancam kehilangan rumah, lahan, dan masa depan.

Padahal, sejak izin HGU PT KII berakhir pada 2019, warga kembali menguasai tanah tersebut. Mereka menganggapnya sebagai tanah ulayat warisan leluhur, yang telah menghidupi generasi demi generasi. Dari tanah itu, warga menanam sawit, nilam, padi, jagung, hingga mengelola tambak udang dan bandeng. Bahkan fasilitas umum seperti sekolah dasar, masjid, dan rencana pondok pesantren berdiri di atas lahan yang kini diperebutkan.

“Ironis, di saat kami masih berharap pada kebijakan pemerintah untuk melindungi hak hidup masyarakat kecil, justru ada kebijakan yang bisa menghilangkan tempat tinggal dan mata pencaharian kami. Kalau kami diusir, mau ke mana lagi?” keluh Ngandro Dg. Maseengi, salah seorang warga, Senin 22 September 2025.

Suara lirih itu senada dengan kegelisahan para petani. Mereka mengaku tak menolak pembangunan. Hanya saja, rasa kecewa tak terbendung karena nasib mereka seakan tak dipertimbangkan. “Kami sebagian petani nilam dan sawit.

Hasilnya selama ini ikut menopang ekonomi daerah. Tapi kenapa sekarang kami justru terancam dimiskinkan kembali?” ucap seorang petani dengan nada getir.

Di balik polemik, muncul pula cerita lain. PT KII yang izinnya telah habis disebut-sebut punya kaitan dengan keluarga Cendana, trah mantan Presiden Soeharto. Isu itu makin menambah pertanyaan di tengah masyarakat, mengapa lahan yang selama bertahun-tahun terbengkalai baru digarap kembali di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kali ini untuk kepentingan negara.

Warga juga menyoal urgensi pembangunan markas pasukan elite itu. Sulawesi Tenggara, bagi mereka, relatif aman dan jauh dari konflik bersenjata.

“Kenapa harus di sini? Apakah memang begitu penting sampai harus mengorbankan kehidupan warga kecil?” begitu tanya mereka.

Di tengah ketidakpastian, masyarakat Ambesea menyampaikan empat tuntutan kepada pemerintah pusat dan daerah:
1. Relokasi lahan dan perumahan bagi warga terdampak langsung.
2. Ganti untung atas tanaman produktif dan usaha masyarakat.
3. Pelibatan warga dalam proses pembangunan dan rekrutmen tenaga kerja.
4. Transparansi kontrak lahan dengan melibatkan ahli waris dan warga penggarap.

Permintaan itu, kata warga, bukan bentuk perlawanan, melainkan harapan agar pembangunan tak berarti pepenggusuran

“Kami tidak anti pembangunan. Kami hanya ingin hak hidup kami dihargai,” tegas mereka.

Polemik ini pun membuka ruang diskusi yang lebih luas, bagaimana negara menyeimbangkan kepentingan strategis dengan hak rakyat kecil? Jawabannya, masih ditunggu di Ambesea, desa yang kini tengah bertaruh antara harapan dan kehilangan. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *