Kendari, Sentralsultra.com – Dunia maya Sulawesi Tenggara belum lama ini digemparkan oleh sebuah siaran langsung di media sosial yang menampilkan seorang perempuan berinisial DG. Dalam tayangan tersebut, DG melontarkan pernyataan bernada merendahkan terhadap perempuan asal Kota R., dengan ucapan seperti: “Siapa paling cantiknya R. kah? Coba kasih lihat saya siapa paling cantiknya R. itu. Orang R. saja mengakui, orang-orang R. itu jelek-jelek.”
Pernyataan yang disampaikan secara terbuka melalui platform digital ini bukanlah sekadar candaan biasa. Dari perspektif hukum, ucapan tersebut telah menyentuh unsur penghinaan terhadap kelompok masyarakat tertentu yang secara sosial, budaya, dan konstitusional dijamin kehormatannya.
Sebagai praktisi hukum dan warga Sulawesi Tenggara, Sugihyarman Silondae, S.H., M.H., menilai bahwa tindakan ini patut diproses dalam bingkai hukum yang objektif dan bertanggung jawab. Secara yuridis, pernyataan DG dapat dikategorikan sebagai delik penghinaan terhadap golongan, sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHP, serta sebagai ujaran kebencian berbasis identitas sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Unsur “di muka umum” jelas terpenuhi karena pernyataan tersebut disampaikan melalui siaran langsung yang dapat diakses publik. Unsur “penghinaan” tampak dalam nada dan kata-kata yang merendahkan martabat perempuan, dan unsur “terhadap golongan” terlihat dari sasarannya yang secara spesifik merujuk pada kelompok masyarakat berdasarkan asal-usul daerah dan identitas suku.
Dari sudut pandang hukum siber, unsur-unsur delik juga telah terpenuhi: penyebaran melalui sistem elektronik, dilakukan dengan kesadaran penuh, serta berpotensi menimbulkan kebencian terhadap kelompok tertentu. Dalam hukum pidana modern, kerugian fisik bukan satu-satunya syarat penindakan hukum.
“Kerugian moril seperti rasa malu kolektif, tekanan sosial, dan terganggunya kehormatan komunal adalah akibat yang sah dan diakui. Perlu ditegaskan bahwa permintaan maaf yang mungkin disampaikan pasca kejadian tidak serta-merta menghapus tanggung jawab pidana,” ujar Sugihyarman.
“Prinsip actus non facit reum nisi mens sit rea mengajarkan bahwa kesalahan timbul dari kesadaran dan kehendak. Dalam hal ini, tindakan DG dilakukan dengan sadar, direkam, disiarkan secara langsung, serta ditujukan kepada kelompok masyarakat yang teridentifikasi secara eksplisit. Maka, unsur kesalahan secara hukum pun telah lengkap,” tambahnya.
Memang Lanjut Sugihyarman Silondae menjelaskan, konstitusi menjamin kebebasan berekspresi sebagai hak warga negara. Namun, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa kebebasan tersebut harus dibatasi demi menghormati hak dan martabat orang lain serta menjaga ketertiban umum.
“Ketika ekspresi digunakan untuk merendahkan kelompok masyarakat tertentu, negara wajib hadir. Dalam konteks ini, hukum bukan alat pembalasan, melainkan penjaga batas etika dan martabat,” jelasnya.
Sebagai bagian dari masyarakat Sulawesi Tenggara, saya memahami bahwa perempuan memiliki peran sentral dalam struktur sosial dan budaya kita. Mereka bukan hanya representasi keluarga, tetapi juga simbol kehormatan komunitas. Maka, ketika perempuan dari Kota R. yang secara budaya merepresentasikan Suku M. dihina secara terbuka di ruang digital, maka yang terluka bukan hanya individu, melainkan harga diri kolektif masyarakat.
“Penegakan hukum dalam kasus seperti ini harus dilakukan secara tegas namun proporsional, cepat namun berkeadilan, guna menunjukkan bahwa hukum tidak hanya hidup dalam teks, tetapi hadir nyata di tengah masyarakat. Jika ujaran kebencian berbasis identitas dibiarkan tanpa proses hukum, maka ruang digital akan berubah menjadi arena tanpa tanggung jawab, dan wibawa hukum perlahan akan tergerus,” beber Praktisi Hukum asal Sultra.
Untuk itu, saya mendorong aparat penegak hukum agar bertindak berdasarkan bukti yang terang dan unsur hukum yang telah terpenuhi, bukan karena tekanan publik semata.
“Penegakan hukum ini bukan hanya untuk perempuan Kota R., tetapi untuk menjaga martabat kita semua sebagai bangsa yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan.
Martabat perempuan bukan bahan candaan. Tidak juga di live TikTok,” tutup Sugihyarman Silondae, S.H., M.H., yang berprofesi sebagai Advokat. (**)