Kendari, Sentralsultra.com – Belakangan ini sekitar bulan Juli 2022 lalu telah terjadi fenomena Perkara yang Objeknya berupa Tanah yang bertempat di RT 003/RW 001 Kelurahan Abeli Dalam, Kecamatan Puuwatu, Kota Kendari. Kasus yang dilaporkan Direktur PT. Kendari Baruga Pratama (KBP) yang juga mantan Walikota Kendari periode 2007-2012 / 2012-2017 melalui kuasa hukumnya pada bulan Februari 2022 itu, terkait Pengrusakan Tanaman dan atau Memasuki Pekarangan Tanpa Ijin yang kemudian Penyidik mengembangkan Laporan Pelapor sehingga mendapatkan delik baru berupa Pemalsuan Dokumen/menggunakan Dokumen Palsu.
Penanganan kasus tersebut bergulir selama kurang lebih 6 (enam) bulan yang dibuktikan Penyidik Dit Reskrimum Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) menetapkan tersangka kepada terlapor (HASAN).
Bulan Agustus 2022 Kejaksaan Negeri Kendari menerima berkas perkara dari Penyidik itu dan dinyatakan lengkap oleh Jaksa Kejari Kendari dan selanjutnya proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Kendari dilakukan hingga selesai.
Putusan persidangan oleh PN Kendari tersebut menyatakan bahwa perkara tersebut Bukan Merupakan Perkara Tindak Pidana. (putusan nomor 336/Pid.B/2022/PN Kdi). Selanjutnya Jaksa Kejari Kendari melakukan Kasasi dan Mahkamah Agung mengabulkan dan menjatuhkan vonis kepada terdakwa Hasan selama 1 (satu) tahun dikurangi masa tahanan.
Namun perlu diketahui dalam Penyelidikan kasus tersebut banyak kejanggalan yang diduga dilakukan para oknum Aparat Penegakan Hukum (APH) diantaranya, Dokumen atau Surat Tanah Pelapor berada diluar Objek (Dokumen di Lepo-lepo Objek Tanah ada di Abeli Dalam), kemudian Batas Tanah tidak sesuai data fakta lapangan namun Penyidik Polda Sultra tidak memperhatikan itu meski diberitahu.
Disamping itu para Oknum APH tersebut tidak mengindahkan Peraturan Kapolri (Perkap) Pasal 61 dan 62, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor 1 Tahun 1956 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 1980 dan Surat Panduan dalam sistem penuntutan yang dikeluarkan oleh Kejagung Nomor: B- 230/E/Ejp/01/2013. Hal tersebut di ungkapkan Korban Hasan yang didampingi sejumlah anaknya saat memberikan keterangan, Kamis 23 Mei 2024.
“Oknum APH Penyidik dan Jaksa ini diduga sangat tidak profesional dalam menangani kasus pidana umum yang objeknya berupa tanah. Kemudian lagi parahnya oknum APH yang memeriksa perkara ini di Mahkamah Agung (MA), diduga semua menabrak atau tidak memperhatikan aturan atau undang – undang yang berlaku (SEMA, Perkap dan Kejagung) yang mereka buat sendiri,” kesal Hasan.
“Kami heran juga dengan sikap dan kinerja APH kita, mereka buat surat edaran namun mereka juga yang langgar. Kami masyarakat kecil mau mengadu kemana dan sama siapa lagi kalau di MA saja tidak menegakan dan memperhatikan undang – undang itu sendiri. Namun saya masih menaruh harapan besar bahwa itu semua hanya kinerja segelintir oknum saja dan masih ada yang kerja lurus dan ikhlas sesuai prosedur. Baik itu di Kepolisian, Jaksa maupun di MA itu sendiri,” tambah Hasan.
Yang mana diketahui masing-masing Pihak memiliki alas hak Kepemilikan Tanah yang keluarkan Pemerintah. Dimana Surat Tanah masing-masing pihak tersebut adalah sebagai berikut :
Untuk Surat Tanah Pelapor mantan Walikota Kendari melalui Kuasa Hukumnya adalah berdasarkan Surat Keterangan Pengolahan Tanah diterbitkan Kepala Desa Lepo-lepo pada Tahun 1972 seluas 20 (dua puluh ribu meter persegi) M² atau 20 Hektare (Ha) atas nama LAHU. Sedangkan Surat Tanah Terlapor HASAN berdasarkan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah yang diterbitkan Kepala Kelurahan Abeli Dalam pada tahun 2013 seluas 32.355 (tiga puluh dua ribu tiga ratus lima puluh lima meter persegi) M² atas nama HASAN.
“Surat Keterangan Pengolahan Tanah Pelapor inikan berada di Lepo-lepo, kenapa datang menunjuk/mengklaim Tanah di Abeli Dalam. Mestinya ini juga tugas pihak Penyidik untuk melihat dokumen Pelapor yang tidak sesuai objek. Dan Penyidik mengarahkan Pelapor keranah Perdata karena kasus tersebut objeknya berupa tanah. Dan tak kalanya lagi Jaksa untuk tidak menerima berkas perkara yang dikirim oleh Penyidik Polda Sultra ini. Sebab ini kasus adalah kasus tanah dan ranahnya itu adalah perkara Perdata,” terang Hasan.
Hasan menduga oknum Penyidik Dit Reskrimum Polda Sultra dan oknum Jaksa Kejari Kendari ini sangat tidak profesional dalam melakukan penyelidikan suatu kasus tindak pidana umum yang objeknya berupa tanah.
“Ini sangat berbahaya jika dibiarkan APH kita berbuat semaunya secara terus menerus dalam melakukan penyelidikan seperti kasus yang saya alami ini (perkara tanah). Ini sangat merusak citra Kepolisian dan Kejaksaan,” tegas Hasan.
Lanjut Hasan berharap kepada Kapolda Sultra dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara dapat memanggil, menyelidiki dan memproses hukum oknum Penyidik dan oknum Jaksa Kejari Kendari atas perbuatannya tersebut.
“Berharap para oknum yang diduga keras telah menyalahgunakan kewenangannya atau melakukan penyelidikan sesuai kehendaknya tersebut, dapat diproses hukum dan diberikan sangsi tegas berupa pemecatan terhadap anggota polri dan Jaksa tersebut. Dan itu sudah setimpal atas perbuatannya. Karena perlakuannya sangat tidak manusiawi. Perlakuan mereka sangat mengkriminalisasi kami,” kesal Hasan.
Dikutip pada media rr.co.id, Pakar Hukum Universitas Indonesia, Prof Hikmawanto Juwana mengatakan, apa yang dilakukan oleh aparat penegakan hukum dalam kasus Perdata menjadi Pidana merupakan sebuah kriminalisasi.
“Jadi aparat penegak hukum seperti polisi dan Jaksa harus waspada bila ada aduan atas masalah perdata ke pidana,” ungkapnya. (**)