Kendari, Sentralsultra.com – Anggota Komisi III DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra), Drs. H. Abdul Halik, menyampaikan peringatan keras kepada seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah daerah maupun pelaku usaha tambang, untuk tidak hanya fokus mengejar pendapatan dari sektor pertambangan semata tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.
Dalam keterangannya, Abdul Halik menyebut bahwa selain Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor tambang, pemerintah seharusnya juga mengoptimalkan potensi pendapatan lain, seperti pajak kendaraan, dan retribusi atas pemanfaatan air di wilayah tambang.
Namun, menurut Fraksi PBB ini, pendapatan tersebut tidak boleh membuat pemerintah dan pengusaha tambang lupa akan kerusakan yang ditimbulkan.
“Saya warning seluruh pihak, jangan hanya pikirkan berapa besar pendapatan dari tambang, tapi kita abaikan perubahan besar yang terjadi di masyarakat. Banyak lahan pertanian kini beralih menjadi area tambang, dan para petani pun beralih profesi menjadi buruh tambang. Ini jelas menghambat percepatan program ketahanan pangan nasional,” ujarnya, Jumat 13 Juni 2025.
Ia mencontohkan sejumlah lokasi yang kini mengalami transformasi fungsi lahan. Dahulu digunakan sebagai lahan perkebunan atau pertanian, kini dijual atau dikonversi menjadi kawasan tambang karena adanya pembagian dividen tambang kepada masyarakat.
“Kalau dulu mereka menanam di sawah dan kebun, sekarang mereka kerja di tambang. Ketahanan pangan yang digagas pemerintah tidak akan bisa cepat tercapai jika ini terus dibiarkan,” tambahnya.
Tak hanya soal dampak sosial, Abdul Halik juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan tambang di lapangan. Ia meminta agar pemerintah daerah tidak hanya terpaku pada penerimaan dari DBH atau pajak tambang, tetapi juga memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“AMDAL itu adalah kitab sucinya perusahaan tambang. Itu harus benar-benar dijalankan. Setiap tambang yang punya RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) harus dievaluasi minimal setiap 6 (enam) bulan dan hasil evaluasinya dipublikasikan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti praktik penambangan yang melewati batas izin, bahkan merambah kawasan hutan lindung. Hal ini menurutnya kerap terjadi ketika perusahaan tetap menambang di luar area perizinan karena masih terdapat potensi sumber daya.
“Biasanya dikasih izin 100 hektar, begitu habis mereka lanjut gali yang lain, padahal itu sudah masuk kawasan hutan lindung. Ini yang harus dicek dan dievaluasi bersama-sama oleh BPN, Inspektur Tambang, Dinas Kehutanan, dan tentu Komisi III DPRD harus turun langsung ke lapangan,” tandasnya.
Lebih lanjut, Abdul Halik mengingatkan agar pemerintah tidak tergoda mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan cara mengabaikan regulasi dan membiarkan penambangan ilegal terus berlangsung.
“Jangan sampai karena ingin mengejar setoran pajak, tambang-tambang ini dibiarkan menggarap lahan di luar izin. Itu menyalahi aturan dan berpotensi menjadi masalah hukum di kemudian hari,” katanya.
Sebagai penutup, ia mengimbau para pemilik IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang sudah mengantongi RKAB untuk tetap beroperasi hanya di wilayah yang telah berstatus clear and clean.
“Kalau hutan kita rusak, bukan mata air yang muncul, tapi air mata. Karena air kita tidak bisa diminum lagi, sawah tak terairi, dan program ketahanan pangan bisa gagal total. Ingat, semua ini bukan sekadar soal pendapatan, tapi soal keberlangsungan hidup,” pungkasnya. (**)